Netwriter can get reward Join NowDaftar / Login Netwriter
19/06/2025
SMARTLIVE

Pendidikan Dikepung Konten dan Komersialisasi, Kota Malang di Persimpangan Peradaban

rifamahmudah
  • Juni 2, 2025
  • 3 min read
Pendidikan Dikepung Konten dan Komersialisasi, Kota Malang di Persimpangan Peradaban

SMARTLIVE – Pendidikan bukan lagi ruang pembentukan karakter, tapi mulai berubah menjadi jalur cepat menuju pasar kerja dan ajang perebutan status sosial. Sorotan tajam ini mencuat dalam Dialog Pendidikan bertema “Merayakan Kebhinekaan Menguatkan Pendidikan” yang digelar di Kota Malang, Senin (2/6/2025) di Aula Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang.

Dalam forum itu, terungkap sejumlah tantangan besar yang kini membelit dunia pendidikan di Kota Malang—dari disorientasi nilai, dominasi teknologi, hingga komersialisasi pendidikan.

“Dulu orang tua bilang ke anak: sekolah yang pintar biar berguna bagi bangsa. Sekarang, sekolah yang pintar biar cepat kerja bagus,” ujar Wakil Wali Kota Malang, Ali Muthohirin, dalam pidatonya. “Nilai-nilai itu sudah bergeser. Dan kita mulai kehilangan arah.”

Ali menyoroti betapa cepatnya anak-anak menyerap konten dari media sosial dibandingkan nilai dari ruang kelas. Fenomena ini, menurutnya, menjadi bukti bahwa sistem pendidikan kini dikepung arus informasi yang serba instan dan tak selalu bermakna.

“Guru mengajar dari pagi sampai sore, tapi bisa kalah pengaruhnya oleh satu video TikTok viral. Itu kenyataan hari ini,” ucapnya.

Tak hanya itu, ia menilai pendidikan kini terlalu berorientasi pada hasil instan ijazah, ranking, nilai akademik, dan peluang kerja dan semakin menjauh dari nilai-nilai dasar seperti kejujuran, toleransi, gotong royong, dan kebhinekaan.

“Artis dibayar mahal untuk merusak, guru dibayar murah untuk mendidik,” sindirnya pedas.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang, Suwardjana, menambahkan bahwa Kota Malang adalah miniatur Indonesia, tempat berbagai suku, budaya, dan agama berbaur. Maka, pendidikan di kota ini seharusnya punya tanggung jawab ekstra untuk memperkuat fondasi kebhinekaan.

“Karakter khas warga Malang itu ramah, guyub, dan toleran. Tapi kalau sekolah-sekolah kita tidak menanamkan itu, identitas ini akan perlahan hilang,” katanya.

Baca Juga:  12 Calon Rektor UIN Malang Siap Melaju di Seleksi Komsel

Suwardjana juga mengingatkan agar kebijakan pendidikan tidak sekadar populis dan reaktif. Ia mencontohkan wacana mewajibkan salat berjamaah di sekolah, yang menurutnya perlu dikaji secara akademik dan tidak dijadikan komoditas politik.

“Mendidik karakter religius itu penting. Tapi harus berbasis penelitian, bukan sekadar mengejar dukungan politik,” tegasnya.

Ali Muthohirin mengungkapkan bahwa meski penduduk resmi Kota Malang hanya sekitar 870 ribu jiwa, jumlah yang tinggal dan belajar di dalamnya mencapai lebih dari 1,6 juta orang. Ini menjadikan Malang sebagai salah satu episentrum pendidikan nasional.

Namun, menurutnya, beban ini justru menjadi risiko besar jika tidak ditopang oleh arah pendidikan yang kuat.

“Kalau pendidikan di sini rusak, rusak pula generasi masa depan bangsa,” tegasnya. “Pendidikan itu soal hati. Tapi sekarang, hubungan emosional antara guru dan murid juga makin renggang, tergantikan oleh layar-layar aplikasi.”

Ali juga menyindir keras bahwa dalam era digital hari ini, kepercayaan publik bukan lagi pada ilmuwan atau guru, tapi pada sosok yang paling sering muncul di layar ponsel.

“Seorang profesor bisa kalah pengaruhnya dibanding satu meme yang viral di WhatsApp. Ini krisis kepercayaan,” katanya.

Forum tersebut juga membahas bagaimana pendidikan kini berubah menjadi simbol status sosial. Sekolah-sekolah elite berlomba menjual citra dan fasilitas, sementara orang tua berebut bangku bukan karena kurikulum, melainkan karena gengsi.

“Menyekolahkan anak kini jadi soal status. Bukan nilai yang ditanamkan. Itu masalah besar,” ujar Ali.

Dialog pendidikan ini menyimpulkan bahwa pendidikan Kota Malang kini berada di titik kritis. Pilihannya jelas: tetap menjadi jantung peradaban, atau sekadar menjadi jalur instan ke pasar kerja yang dangkal.

“Jika pendidikan kehilangan ruh-nya sebagai pembentuk karakter, maka yang tersisa hanyalah pabrik ijazah,” pungkas Ali. (Ab)