Krisis Penyerapan Gula Petani: Antara Banjir Impor dan Lemahnya Tata KelolaOleh: Prof. Ir. Sudiarso

CITILIVE – Krisis Penyerapan Gula Petani, Indonesia merupakan negara agraris yang sejak lama bercita-cita mewujudkan swasembada gula. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa cita-cita itu masih jauh dari harapan. Setiap tahun, petani tebu menghadapi persoalan klasik yang terus berulang: hasil panen tebu mereka tidak sepenuhnya terserap pasar, sementara harga jual kerap tertekan oleh masuknya gula impor. Tahun 2025 ini, masalah itu kembali mencuat dengan lebih serius. Sebanyak 268 ribu ton gula petani menumpuk di gudang pabrik gula karena tidak terserap pasar. Angka tersebut bukan sekadar statistik, melainkan potret nyata penderitaan petani yang telah bekerja keras, tetapi hasil jerih payahnya justru tersisih oleh arus perdagangan global yang tidak terkendali.

Jika ditelusuri, penyebab utama mandeknya penyerapan gula petani adalah banjirnya gula rafinasi impor. Secara regulasi, gula rafinasi seharusnya hanya dipakai untuk kebutuhan industri makanan dan minuman. Namun, dalam praktiknya, sebagian gula rafinasi bocor ke pasar konsumsi. Inilah yang menimbulkan persaingan tidak sehat dengan gula kristal putih produksi petani dalam negeri. Harga gula rafinasi impor yang relatif lebih murah membuat pedagang dan pasar lebih memilihnya dibanding gula petani. Kondisi ini bukan hanya menekan harga, tetapi juga menutup akses distribusi gula lokal ke konsumen. Akibatnya, meskipun stok gula dalam negeri cukup besar, pasar justru dibanjiri gula impor.

Pemerintah sebenarnya telah mencoba melakukan intervensi. Danantara, sebagai pengelola sovereign wealth fund (SWF) dan mengonsolidasikan aset aset pemerintah serta dividen dari BUMN untuk di investasikan pada proyek strategis, PTPN III Holding Perkebunan, mendapatkan mandat untuk membeli gula petani dengan dana sebesar Rp1,5 triliun. Namun hingga akhir Agustus 2025, dana itu belum bisa dicairkan. Akibatnya, gula tetap menumpuk di gudang tanpa ada kejelasan.
Selain itu, Badan Pangan Nasional (Bapanas) telah mengirim surat kepada 166 pedagang besar agar membeli gula petani. Tetapi langkah ini tidak membuahkan hasil. Tidak ada satu pun pedagang yang merespons. Ini menunjukkan bahwa instrumen kebijakan pemerintah masih lemah, baik dari sisi daya tarik insentif maupun kekuatan regulasi yang mengikat. Kondisi ini mencerminkan adanya jurang antara kebijakan dan implementasi. Di atas kertas, pemerintah tampak hadir. Namun di lapangan, petani tetap dibiarkan berjuang sendiri menghadapi pasar yang semakin tidak bersahabat.
Krisis penyerapan gula petani tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga sosial. Banyak petani kini mengalami kesulitan likuiditas karena hasil panen tidak segera terjual. Mereka kesulitan membayar ongkos panen, biaya pupuk, hingga kebutuhan hidup sehari-hari. Jika situasi ini terus berlanjut, petani akan kehilangan motivasi untuk menanam tebu pada musim berikutnya. Mereka bisa saja beralih menanam komoditas lain yang lebih menjanjikan, seperti padi, jagung, atau hortikultura. Bila itu terjadi, luas areal tebu nasional akan semakin menyusut, dan cita-cita swasembada gula akan semakin menjauh. Selain itu, stagnasi distribusi gula juga berpotensi menimbulkan anomali harga di pasar. Di satu sisi, gudang penuh dengan stok gula yang tidak terserap. Di sisi lain, konsumen bisa saja tetap membeli dengan harga tinggi karena distribusi tidak lancar. Ini adalah ironi dalam tata kelola pangan nasional.
Dalam situasi seperti ini, pemerintah tidak boleh lagi bersikap setengah hati. Dibutuhkan langkah nyata dan terukur untuk menyelamatkan petani sekaligus menata ulang industri gula nasional.
Ada empat strategi yang saya tawarkan: 1. Intervensi Pemerintah melalui Pembelian Langsung
Negara harus hadir sebagai pembeli terakhir (buyer of last resort) ketika pasar tidak mampu menyerap gula petani. Bulog dan BUMN pangan lainnya bisa diberi mandat untuk membeli gula dengan harga yang layak, lalu menyalurkannya kembali ke pasar pada saat harga melonjak.
2. Pengendalian Ketat Impor Gula Impor, khususnya gula rafinasi, harus dikendalikan. Pemerintah perlu memperketat pengawasan agar gula rafinasi benar-benar hanya digunakan untuk industri makanan–minuman, bukan masuk ke pasar konsumsi. Penindakan tegas terhadap pelanggaran distribusi rafinasi menjadi kunci.
3. Kebijakan Impor Berbasis Neraca Produksi–Konsumsi
Data neraca produksi dan konsumsi gula harus menjadi dasar utama kebijakan impor. Jika produksi gula petani dalam negeri cukup, impor wajib diturunkan. Sebaliknya, impor hanya dilakukan ketika benar-benar ada defisit stok.
4. Operasi Pasar Terintegrasi
Operasi pasar tidak boleh sporadis, melainkan terintegrasi dengan sistem distribusi nasional. Bulog, Danantara, dan pedagang besar harus bersinergi menyerap gula petani dan menyalurkannya ke konsumen dengan harga stabil.
Sejarah mencatat bahwa industri gula Indonesia pernah jaya pada masa kolonial, ketika Jawa menjadi salah satu penghasil gula terbesar di dunia. Namun setelah kemerdekaan, kejayaan itu meredup. Salah satu penyebabnya adalah ketidakmampuan menjaga keseimbangan antara produksi, distribusi, dan kebijakan perdagangan.Kini, masalah yang sama kembali terulang dalam konteks berbeda.
Hanya saja, tantangannya semakin kompleks karena melibatkan perdagangan global, liberalisasi impor, dan lemahnya tata kelola dalam negeri. Penumpukan 268 ribu ton gula petani adalah alarm keras bagi pemerintah. Ini bukan sekadar masalah stok atau distribusi, tetapi menyangkut keberlangsungan hidup jutaan petani tebu di Indonesia. Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah nyata, maka petani akan semakin terpuruk, dan industri gula nasional akan kehilangan basis produksinya. Swasembada gula akan tinggal kenangan, digantikan ketergantungan permanen pada impor.Oleh karena itu, Pusat Kajian Gula Universitas Brawijaya menegaskan: saatnya pemerintah tegas, berpihak pada petani, dan menata ulang tata kelola gula nasional. Intervensi langsung, pengendalian impor, kebijakan berbasis neraca produksi–konsumsi, serta operasi pasar terintegrasi adalah langkah mendesak yang tidak boleh ditunda. Petani tebu telah berbuat banyak untuk negeri ini. Kini giliran negara hadir memberi kepastian, agar keringat mereka tidak terbuang percuma. (Ab)