Netwriter can get reward Join NowDaftar / Login Netwriter
02/06/2025
SMARTLIVE

Dari Lulusan Pondok ke ITS: Riyadh, Santri PMD Gontor Asal Malang yang Tembus Teknik Kimia

rifamahmudah
  • Mei 29, 2025
  • 4 min read
Dari Lulusan Pondok ke ITS: Riyadh, Santri PMD Gontor Asal Malang yang Tembus Teknik Kimia

SMARTLIVE – Tak ada yang menyangka bahwa perjalanan pendidikan yang dimulai dari pondok pesantren bisa mengantarkan seorang santri tembus ke kampus teknik terkemuka. Tapi itulah kisah Muhammad Riyadh Putra Rizal, santri lulusan Pondok Modern Darussalam Gontor, yang baru saja dinyatakan lolos Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) 2025 dan diterima di Jurusan Teknik Kimia, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.

Riyadh bukan dari sekolah umum, ia berasal dari lingkungan pondok pesantren yang sarat dengan pelajaran agama dan pendidikan karakter. Namun siapa sangka, di balik jubah kesan “anak pondok”, Riyadh menyimpan rekam jejak prestasi akademik luar biasa di bidang sains.

Inspirasi dari Ayah, Dorongan dari Ibu

Sang ibunda, Bu Nur (bukan nama sebenarnya), menceritakan bahwa keputusan memasukkan Riyadh ke Gontor bukan tanpa pertimbangan panjang. Justru karena sang ayah bekerja di lingkungan teknik, ia melihat ada nilai besar dalam ilmu agama yang sering kali terpinggirkan di dunia profesional.

“Suami saya kerja di Jakarta, di lingkungan teknikal. Di kantornya, untuk bisa ikut kajian agama itu susah sekali. Sampai suatu saat ada temannya yang bisa mengisi kajian setelah sholat jamaah. Ternyata, orang itu lulusan pesantren padahal kerjanya juga di bidang teknik. Dari situ kami mulai yakin, anak kami harus dapat bekal agama yang kuat dulu. ”Bukan Calon Ustadz, Tapi Ingin Ilmu Agama Riyadh memang cemerlang sejak SD. Ia berkali-kali mewakili sekolah dalam olimpiade matematika dan IPA. Pernah meraih predikat gold dan merit, dan sempat lolos ke ajang olimpiade matematika internasional di Thailand. Tapi karena bersamaan dengan kegiatan wajib di Gontor Khutbatul Arsy di Gontor Kampus 1 (G1) ia memilih tak berangkat. “Anaknya memang sudah bilang sejak awal: ‘Saya mau mondok, tapi tidak mau jadi ustadz ya, Bu’. Kami hargai itu. Kami ingin dia dapat nilai-nilai Gontor kepemimpinan, tanggung jawab, disiplin dan tetap bisa lanjut ke jurusan saintek nantinya,” ujar sang ibu.

Baca Juga:  Belajar Sejarah Islam : Ini 10 Kerajaan Islam Pertama di Indonesia

Liburan Diisi Belajar Sains Setahun Sekaligus

Selama mondok, Riyadh memang tak mendapatkan kurikulum saintek secara penuh seperti di SMA umum. Maka saat libur 50 hari, sang ibu turun tangan: mereka bersama-sama belajar materi matematika, fisika, dan kimia untuk satu tahun ke depan, hanya dalam waktu satu bulan. “Kami pelajari bareng. Saya yang temani. Itu terus dilakukan setiap libur agar ananda tetap bisa mengejar cita-citanya masuk jurusan teknik. ”Melewati Gap Year, Tetap Konsisten Setelah lulus dari Gontor, Riyadh masih menjalani masa pengabdian di Universitas Darussalam (UNIDA) Ponorogo, sambil kuliah di sana. Ia juga bertugas sebagai pembimbing Pramuka SD dan bahkan pernah menjadi ketua panitia lomba pramuka se-Ponorogo. Akibat padatnya kegiatan, Riyadh pulang dalam kondisi lelah dan sempat jatuh sakit. “Buku pegangan banyak yang belum sempat dipelajari. Tapi Allah jaga semangatnya. Walau sering ngedumel kalau belajar Apalagi ini? Emang semuanya bakal kepake ya Bu?’ saya cuma senyum dan bilang: ‘Sabar ya Mas…”

Meski statusnya gap year, Riyadh tetap memilih jalur SNBT, karena lulusan pondok tak bisa mendaftar melalui SNBP. Ia tak menyerah. Ia tahu bahwa jalan pesantren tak menutup jalan ke kampus teknik impian. ITS Jadi Pilihan Kedua, Tapi Rezeki Tak Pernah Salah Alamat.

Dalam SNBT 2025, Riyadh memilih tiga program studi:

1. FTTM ITB (Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan)

2. Teknik Kimia ITS

3. Rekayasa Kimia Industri

Fakultas Vokasi ITS

Meski pilihan pertamanya tak tembus, pilihan keduanya jadi rezeki terbaik: ITS menerima Riyadh sebagai mahasiswa Teknik Kimia. Santri Juga Bisa Jadi Saintis. Bagi ibunda Riyadh, prestasi ini bukan semata kebanggaan pribadi, melainkan pesan yang ingin ia sampaikan kepada para orang tua lain: “Anak pondok itu bukan berarti harus jadi ustadz. Bukan pula berarti tidak bisa masuk kampus ternama. Justru, pondok itu madrasah mental. Mereka dilatih untuk tangguh, tidak menyerah, tidak takut lingkungan baru. Mondok adalah jalan untuk membentuk manusia seutuhnya. ”Ia menambahkan, “Riyadh sering mengingatkan kami untuk terus mendoakannya. Setiap langkahnya, dia minta doa. Kami percaya, doa orang tua itu bahan bakar utama perjuangannya. ”Kini, langkah Riyadh menuju dunia teknik sudah terbuka lebar. Tapi bekal dari Gontor tetap akan menjadi dasar pijakan kuatnya. Karena dalam dunia yang penuh tantangan, mereka yang kuat bukan hanya yang cerdas, tapi yang berkarakter dan istiqomah. Dan Riyadh, sang santri dari Malang, telah membuktikannya. Kisah Riyadh menjadi bukti nyata bahwa pendidikan pesantren dan sains modern bukanlah dua hal yang bertolak belakang. Justru bisa saling melengkapi, membentuk karakter tangguh sekaligus kompetensi akademik yang solid. Bagi orang tua, jangan ragu menitipkan anak di pondok demi bekal akhlak dan kedisiplinan. Dan bagi para santri, teruslah bermimpi besar karena dunia kampus terbaik pun kini bukan hal yang mustahil untuk digapai. Yuk, buktikan bahwa santri pun bisa bersaing dan berprestasi di jalur saintek. (Ab)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *