Webinar Oleh Kementerian Hukum dan HAM RI bertajuk “Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Efisien, Adil, dan Terpadu”

CITILIVE – Tiga pakar hukum dari Kota Malang menyampaikan pandangan kritis dan dukungan terhadap penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang akan diberlakukan pada 2026. Pandangan tersebut disampaikan menyusul digelarnya webinar nasional oleh Kementerian Hukum dan HAM RI bertajuk “Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Efisien, Adil, dan Terpadu” pada Rabu (28/5/2025).
Webinar ini merupakan bagian dari sosialisasi dan penyempurnaan RKUHAP sesuai amanat UU No. 1 Tahun 2023. Acara tersebut diikuti akademisi, praktisi hukum, hingga instansi penegak hukum dari seluruh Indonesia.Dekan Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, Dr. Ibnu Subarkah, SH, M.Hum, menilai langkah Kemenkumham sebagai bagian dari upaya strategis untuk mereformasi sistem hukum acara pidana di Indonesia. Menurutnya, perubahan KUHAP tidak bisa sekadar normatif, namun harus mencerminkan transformasi nilai-nilai keadilan dan perlindungan hukum.“KUHAP yang baru harus mampu menjawab dinamika masyarakat dan menjadi sistem hukum acara pidana yang adil, prosedural, serta menjamin kepastian hukum,” tegas Ibnu.
Ia menekankan pentingnya memperkuat asas-asas dasar seperti equality before the law dan peradilan yang cepat serta berbiaya ringan.Ibnu juga menyoroti pentingnya pembangunan kelembagaan dan sumber daya manusia dalam mendukung perubahan tersebut. “Ini bukan sekadar mengganti pasal, tetapi membangun nafas hukum yang menjunjung nilai-nilai keadilan. Kelembagaan dan kualitas aparat penegak hukum juga harus dibenahi,” ujarnya.

Senada dengan itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (Unisma), Dr. Arfan Kaimuddin, SH, MH, menyatakan bahwa RKUHAP harus menjawab kebutuhan efisiensi tanpa mengesampingkan perlindungan hak asasi manusia, baik bagi tersangka maupun korban.“Kami berharap KUHAP baru dapat mempercepat proses peradilan tanpa mengorbankan prinsip keadilan. Ini harus menjadi sistem yang menjamin hak semua pihak secara seimbang,” ujarnya.
Sementara itu, dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka (Unmer) Malang, Dr. Faturahman, SH, M.Hum, mengingatkan agar RKUHAP ke depan bersifat adaptif dan responsif terhadap tantangan dalam praktik hukum pidana nasional. “Perlu diperjelas batas tugas dan kewenangan antara penyidik, jaksa, hakim, dan advokat. Tumpang tindih selama ini berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum,” ujar Faturahman. Menurutnya, RKUHAP juga harus menjadi instrumen hukum yang mampu menciptakan keadilan substantif, bukan sekadar prosedural. Ketiga akademisi hukum tersebut menyampaikan komitmennya untuk terus terlibat dalam diskusi publik dan penyempurnaan regulasi agar RKUHAP benar-benar menjadi fondasi peradilan pidana modern Indonesia.Kemenkumham RI menargetkan RKUHAP akan rampung dan mulai diterapkan secara nasional pada 2026. Saat ini, proses sosialisasi dan pengumpulan masukan dari para pemangku kepentingan terus dilakukan secara bertahap. (Ab)