Warga Malang Mulai Meninggalkan Beras? Konsumsi Pangan Lokal Naik, Kualitas Gizi Meningkat

CITILIVE – Dahulu, belum makan kalau belum makan nasi. Tapi kini, warga Kota Malang mulai mengubah pandangan itu. Perlahan namun pasti, pola konsumsi pangan masyarakat kota pendidikan ini makin beragam. Mulai dari umbi-umbian, ikan, telur, hingga sayuran lokal, kini kian akrab di meja makan warga. Tak sekadar tren gaya hidup sehat, pergeseran ini tercermin jelas dari data resmi yang dirilis Pemkot Malang melalui laporan Pola Konsumsi Pangan 2023.
Salah satu angka yang cukup mengejutkan: rasio konsumsi pangan lokal non-beras terhadap beras di Kota Malang melonjak menjadi 0,176. Padahal pada 2021 lalu, angkanya masih 0,072. Artinya, semakin banyak warga Malang yang mulai mengurangi ketergantungan terhadap beras sebagai sumber utama karbohidrat. Bahkan, rasio ini sudah melampaui target nasional, menandakan bahwa kota ini jadi salah satu pionir pergeseran pola konsumsi pangan di Indonesia. Perubahan ini tidak terjadi dalam semalam. Di beberapa kelurahan, seperti Dinoyo, Tlogomas, hingga Lowokwaru, banyak keluarga kini lebih sadar gizi dan mulai memasukkan aneka pangan lokal dalam menu harian. Mulai dari jagung rebus, ubi bakar, olahan singkong, hingga sayur daun kelor yang dulu dianggap “kampungan”, kini kembali populer karena kandungan gizinya yang tinggi.

Dina (33), seorang ibu dua anak asal Sukun, mengaku mulai mengurangi konsumsi nasi di rumahnya sejak pandemi. “Dulu, kalau nggak ada nasi, rasanya belum makan. Tapi sekarang lebih sering bikin menu dari kentang atau jagung. Anak-anak juga lebih suka karena variasinya banyak,” ujarnya. Hal serupa juga dilakukan oleh Eko, warga Merjosari yang bekerja sebagai pelatih olahraga. Ia mengganti sarapan nasi dengan kombinasi pisang kukus, telur rebus, dan sayuran rebus. “Lebih ringan di badan, dan ternyata lebih tahan lapar juga,” katanya. Tak hanya anekdot warga, data pun menunjukkan hal yang sama. Skor Pola Pangan Harapan (PPH) parameter yang mengukur keberagaman konsumsi pangan di Kota Malang naik dari 93,3 pada 2022 menjadi 94,7 pada 2023 (dari nilai maksimal 100).
Peningkatan ini menunjukkan bahwa pola makan warga Malang semakin mendekati standar ideal gizi seimbang: mengandung karbohidrat, protein hewani dan nabati, lemak, vitamin, serta mineral dalam proporsi yang sesuai. Lebih lanjut, konsumsi energi rata-rata warga kini berada di angka 2.197 Kalori/kapita/hari, yang berarti 104,6% dari kebutuhan minimal harian. Konsumsi protein bahkan mencapai 80,3 gram/kapita/hari, atau 140,9% dari kebutuhan gizi nasional. Singkatnya, warga Malang kini makan lebih variatif dan lebih bergizi. Menariknya, meski konsumsi beras meningkat dari 206 gram menjadi 300 gram per hari, porsi terigu justru menurun dari 16,8 kg/tahun menjadi 13 kg/tahun. Ini mengindikasikan bahwa warga Malang lebih banyak mengganti makanan olahan berbasis tepung dengan bahan pangan segar dan lokal.“Ini kabar baik.
Artinya, kita tidak hanya mengejar kenyang, tapi juga mulai sadar soal kualitas dan asal pangan,” ujar drh. Ike Indriati dari Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Malang. Ia menambahkan bahwa diversifikasi pangan lokal juga berperan penting dalam memperkuat ketahanan pangan daerah. Bagi sebagian kalangan, makanan lokal seperti singkong, talas, atau daun kelor masih dianggap inferior. Butuh upaya terus-menerus dari pemerintah, akademisi, dan komunitas pangan untuk mengubah persepsi ini.Selain itu, akses terhadap bahan pangan lokal berkualitas juga perlu diperluas.
“Seringkali bahan lokal kalah bersaing dengan produk instan karena distribusi dan pemasaran masih terbatas,” ujar Alif, penggiat pertanian urban di Kecamatan Blimbing. Untuk menjawab tantangan ini, Pemkot Malang tengah mendorong lebih banyak program edukasi gizi di sekolah dan posyandu, serta memperluas kerjasama dengan petani lokal dan pelaku UMKM pangan. Pergeseran pola konsumsi pangan ini menjadi sinyal positif bahwa kesadaran akan kesehatan dan keberlanjutan mulai tumbuh. Tak hanya untuk menjaga tubuh tetap bugar, tetapi juga bagian dari upaya menjaga ketahanan pangan dan keberagaman hayati lokal. “Kalau dulu kita bangga makan nasi tiga kali sehari, sekarang kita mulai sadar: keberagaman makanan itu juga bagian dari gaya hidup sehat dan cinta lingkungan,” kata Ike Indriati.
Dengan tren ini, Kota Malang tak hanya mencetak skor gizi yang tinggi, tetapi juga menjadi contoh nyata bagaimana perubahan kecil di dapur bisa memberi dampak besar bagi masa depan. Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (Dispangtan) Kota Malang, Slamet Husnan, menyatakan bahwa peningkatan konsumsi pangan lokal adalah buah dari edukasi gizi yang terus digalakkan, termasuk melalui kegiatan di sekolah, posyandu, hingga pelatihan UMKM pangan. “Kami melihat tren yang sangat positif. Masyarakat makin cerdas dalam memilih makanan. Mereka tidak lagi sekadar kenyang, tapi juga peduli pada kualitas dan keberagaman pangan,” ujar Slamet. Ia menambahkan bahwa konsumsi pangan lokal tidak hanya baik untuk tubuh, tetapi juga mendukung ketahanan pangan daerah dan memberdayakan petani lokal. “Ini bukan sekadar data, tapi sinyal bahwa warga mulai berdaulat atas pangannya sendiri,” lanjutnya. (Ab)