Satgas Ungkap Dua Kasus Mafia Tanah di Jawa Timur
CITILIVE – Satuan Tugas Anti-Mafia Tanah dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) berhasil mengungkap dua kasus mafia tanah yang terjadi di Kabupaten Banyuwangi dan Pamekasan, Jawa Timur.
Menteri ATR/Kepala BPN, Agus Harimurti Yudhoyono, mengumumkan hasil pengungkapan kasus tersebut di Markas Kepolisian Daerah Jawa Timur, Surabaya, Sabtu. Menurutnya, pengungkapan ini merupakan hasil dari penyelidikan yang telah dilakukan beberapa waktu lalu.
“Ada dua kasus yang sudah sampai tahap P21 atau tahap penuntutan lengkap di Banyuwangi dan Pamekasan dengan melibatkan lima tersangka,” ujar AHY.
Dalam kasus yang terjadi di Banyuwangi, AHY menjelaskan bahwa kasus tersebut berkaitan dengan penggunaan surat kuasa palsu dalam proses pemisahan sertifika di Kantor Pertanahan setempat. Kerugian akibat kasus ini diperkirakan mencapai Rp17,769 miliar dengan luas tanah yang terlibat mencapai 14.250 meter persegi. Potensi kerugian negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan (PPh) sekitar Rp506 juta.
Dilansir dari antaranews.com, AHY mengatakan bahwa dalam pengungkapan kasus ini, Kantor Pertanahan Banyuwangi telah menahan sekitar 1.200 sertifikat palsu atas instruksi Satgas Anti-Mafia Tanah.
AHY menegaskan bahwa pengungkapan kedua kasus tersebut menunjukkan komitmen Kementerian ATR/BPN bersama pemangku kebijakan terkait dalam memberantas mafia tanah.
Sementara itu, Kepala Satgas Anti-Mafia Tanah, Brigadir Jenderal Polisi Arif Rachman, menjelaskan lebih lanjut bahwa pengungkapan kasus ini berawal dari laporan yang diterima dari Polres Banyuwangi dan Polres Pamekasan.
Untuk kasus di Banyuwangi, kejadian terjadi pada Januari 2023 dengan korban seorang ahli waris tanah yang bernama AKR. Dalam kasus ini, terdapat dua tersangka dengan inisial P (54) dan PDR (34).
Arif menjelaskan bahwa kasus ini bermula ketika korban ingin memisahkan sertifikat tanah. Korban kemudian menggunakan jasa seorang calo, P, untuk membantu proses tersebut. Namun, terungkap bahwa P menggunakan surat kuasa palsu dengan melampirkan site plan yang palsu pula.
Atas perbuatannya, dua tersangka dijerat dengan Pasal 263 ayat 1 dan 2 KUHP tentang membuat, memalsu, dan/atau menggunakan surat palsu dengan ancaman pidana maksimal enam tahun penjara.
Sementara untuk kasus di Pamekasan, terdapat tiga tersangka dengan inisial B (57), MS (53), dan S (51) yang berasal dari Pamekasan. Kasus ini melibatkan pemalsuan dokumen untuk memperoleh sertifikat hak milik atas tanah seluas 1.418 meter persegi.
Tiga tersangka ini dijerat dengan Pasal 385 ayat 1 e KUHP juncto Pasal 55 KUHP tentang turut serta menjual tanah padahal diketahui bahwa yang memiliki atau turut memiliki hak atas tanah tersebut adalah orang lain, dengan ancaman hukuman empat tahun penjara.
Arif menambahkan bahwa hasil penjualan tanah tersebut memberikan keuntungan sebesar Rp675 juta kepada para tersangka, yang kemudian dibagi tiga.
“Dengan pengungkapan kasus ini, kami berharap dapat memberikan efek jera bagi para pelaku mafia tanah dan menegaskan komitmen kami dalam memberantas praktik-praktik yang merugikan negara serta masyarakat,” pungkasnya.