Menjaga Wayang, Merawat Budaya: Cerita dari Malam Bersih Desa di Kabupaten Malang

CITILIVE – Kabupaten Malang bukan sekadar wilayah dengan hamparan sawah dan pegunungan yang asri. Di balik keindahan alamnya, daerah ini menyimpan kekayaan budaya yang terus dijaga, dirawat, dan diwariskan lintas generasi. Salah satu tradisi yang masih mengakar kuat adalah pertunjukan wayang kulit, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari agenda tahunan masyarakat desa, terutama dalam momen sakral Bersih Desa. Pada Minggu malam (27/7), Desa Banggunrejo di Kecamatan Bantur kembali menghidupkan tradisi ini. Di tengah gelap malam dan lampu minyak yang berkedip redup, masyarakat berbondong-bondong memenuhi lapangan desa.

Tak sekadar menonton, mereka hadir dengan harapan dan doa, menyambut lakon Wahyu Cakraningrat yang dimainkan dua dalang kenamaan: Ki Minto Darsono dan Ki Thatit Kusuma Wibatsuh.Wayang kulit bukan sekadar pertunjukan semalam suntuk. Ia adalah “tontonan yang sarat tuntunan”, sebagaimana sering diungkapkan para sesepuh desa. Lakon yang dibawakan bukan sekadar drama epik, tapi sarana menyampaikan nilai moral, kritik sosial, bahkan pendidikan politik dengan cara yang lembut dan membumi. Lakon Wahyu Cakraningrat yang dibawakan malam itu menceritakan perjuangan tokoh Pandawa dalam meraih wahyu kepemimpinan yang adil. Dalam konteks lokal, cerita ini menjadi pengingat bahwa kekuasaan harus dilandasi kejujuran, kerakyatan, dan keberanian menghadapi godaan duniawi. “Cerita wayang seperti ini ibarat cermin. Di dalamnya kita bisa melihat mana yang benar, mana yang salah. Tanpa harus menggurui,” kata Ki Minto Darsono, dalang asal Kabupaten Malang yang telah puluhan tahun melanglang buana membawa wayang ke berbagai pelosok Jawa Timur.

Sosok dalang memiliki peran penting dalam menjaga hidupnya seni wayang. Mereka bukan hanya pencerita, tapi juga budayawan, filsuf, dan musisi sekaligus. Dalam satu malam, dalang memainkan lebih dari 100 tokoh wayang, menyampaikan dialog, melantunkan tembang Jawa, hingga mengatur ritme gamelan. Ki Thatit Kusuma Wibatsuh, salah satu dalang muda yang tampil malam itu, menjadi simbol regenerasi dalam dunia pedalangan. Ia tumbuh besar di keluarga dalang dan kini bertekad membawa wayang lebih dekat dengan generasi milenial. “Wayang itu dinamis. Bisa disesuaikan dengan zaman. Tapi nilai-nilainya tetap sama: kebaikan akan selalu menang, asal sabar dan setia pada kebenaran,” ungkap Thatit, yang juga aktif di komunitas pelestari budaya Malang Selatan.
Bupati Malang, Drs. H. M. Sanusi, M.M., yang hadir dalam acara tersebut, menyampaikan kebanggaannya atas konsistensi masyarakat menjaga tradisi lokal. “Pagelaran seperti ini bukan hanya hiburan, tapi media pendidikan budaya. Kita perlu mendukung, agar anak-anak muda tahu akar budayanya,” ujarnya di hadapan warga Banggunrejo. Sanusi juga menegaskan bahwa pelestarian budaya seperti wayang kulit akan terus menjadi bagian dari kebijakan pembangunan daerah, terutama dalam sektor pariwisata berbasis budaya. Kabupaten Malang memang dikenal sebagai salah satu kantong budaya wayang kulit di Jawa Timur. Di desa-desa seperti Banggunrejo, Donomulyo, Pujon, hingga Dampit, tradisi wayang masih menjadi bagian dari siklus hidup masyarakat: mulai dari syukuran panen, ruwatan, hingga momen Bersih Desa.Komunitas-komunitas pedalangan tumbuh dengan pendekatan lokal.
Beberapa di antaranya bahkan mulai mengembangkan metode baru seperti wayang multimedia dan pertunjukan virtual untuk merangkul generasi muda yang lebih akrab dengan teknologi. “Wayang itu nggak boleh eksklusif hanya untuk orang tua. Harus dibikin menarik buat anak-anak juga, tanpa kehilangan ruh-nya,” kata Sulastri, guru SD di Bantur yang kerap mengajak murid-muridnya menonton wayang sebagai bagian dari pelajaran muatan lokal. Di tengah era digital, mempertahankan eksistensi wayang kulit bukan perkara mudah. Dibutuhkan dukungan lintas sektor: pemerintah, komunitas budaya, sekolah, hingga media. Malam Bersih Desa di Banggunrejo adalah contoh nyata bahwa tradisi tak harus tertinggal. Ia bisa menjadi cahaya yang menerangi arah, membangun identitas bersama, dan menjembatani masa lalu dengan masa depan. Wayang kulit adalah wajah budaya kita. Dan selama masih ada dalang yang mau bertutur, penonton yang mau mendengar, serta generasi muda yang mau belajar maka bayangan kulit itu akan terus bergerak di balik layar putih, menari-nari bersama gamelan, menyampaikan pesan tentang hidup yang jujur, sabar, dan bijaksana. (Ab)