MAPALA: Dari Sahabat Alam Menjadi Simbol FOMO Generasi Digital
CITILIVE, MALANG – Dahulu, kata MAPALA (Mahasiswa Pecinta Alam) identik dengan keteguhan, kesederhanaan, dan cinta sejati terhadap alam. Mereka menapak bumi bukan demi sorotan kamera, melainkan karena hati mereka memang terpanggil untuk menjaga bumi yang memberi kehidupan.
Mereka mendaki bukan untuk foto di puncak, tapi untuk memahami arti keteguhan menghadapi badai. Mereka menyeberangi sungai bukan untuk konten media sosial, tapi karena ingin menaklukkan rasa takut dan belajar tentang ketulusan alam. Kini, romantisme itu mulai memudar.
Di masa lalu, MAPALA dikenal sebagai garda terdepan penjaga lingkungan. Setiap ada kebakaran hutan, tanah longsor, atau pencemaran sungai, mereka selalu yang pertama datang bukan dengan kamera, tapi dengan tenaga dan tekad.
Namun kini, makna mendaki gunung berubah. Pendakian yang dulu penuh nilai spiritual kini kerap dijadikan ajang eksistensi. Feed Instagram dipenuhi foto siluet di puncak gunung, video estetik di tengah hutan, atau pose heroik di tepi jurang.

“Banyak yang ikut naik gunung karena takut ketinggalan tren, bukan karena mencintai alam,” tutur Ali Nopan Mantan Humas MAPALA STMIK Indonesia, dengan nada getir saat memberikan opininya.
Ia melanjutkan, “Padahal, buat kami, alam itu bukan panggung. Alam itu guru. Dari hujan, kami belajar sabar. Dari tanah, kami belajar rendah hati.”
MAPALA, Sekolah Kehidupan yang Mulai Terlupakan, Menjadi bagian dari MAPALA dulu berarti siap ditempa secara fisik, mental, dan moral. Tidak ada kenyamanan, tidak ada sinyal, tidak ada “like”. Yang ada hanyalah alam yang jujur, keras, tapi penuh pelajaran.
Di tengah badai gunung, mereka belajar disiplin dan tanggung jawab. Saat menyeberangi sungai deras, mereka belajar tentang kepercayaan. Dan ketika bertahan hidup di hutan hanya dengan peralatan seadanya, mereka menemukan arti kebersamaan.
Kini, sebagian dari nilai itu perlahan luntur, digantikan oleh budaya pamer dan pencitraan digital. Ironisnya, pencinta alam tidak lagi dikenal karena aksi konservasi, tetapi karena postingan yang viral.
Beruntung, masih banyak unit MAPALA di berbagai kampus yang menolak hanyut dalam arus itu. Mereka memilih kembali ke akar ke nilai asli seorang pecinta alam: menanam, membersihkan, menjaga, dan mendidik.
“MAPALA bukan soal naik gunung atau gaya hidup ekstrem. Ini tentang tanggung jawab pada bumi.”
Era digital memang sulit dihindari. Dunia bergerak cepat, dan manusia semakin haus validasi. Tapi bagi mereka yang masih memegang nilai lama, menjadi pecinta alam berarti melawan arus itu menjadi berbeda di tengah budaya instan.
Kini, beberapa MAPALA mulai menyeimbangkan peran: tetap aktif di media sosial, namun untuk mengedukasi dan menggerakkan. Mereka membagikan tips konservasi, kisah relawan di hutan, dan ajakan menanam pohon bukan demi likes, tapi agar pesan cinta alam menjangkau lebih banyak orang.
Karena pada akhirnya, cinta alam sejati tidak butuh pengakuan. Ia cukup diwujudkan lewat tindakan kecil: memungut sampah di jalur pendakian, menanam satu pohon, atau sekadar tidak meninggalkan jejak plastik di gunung.
Alam selalu punya cara mengingatkan manusia. Ketika pohon ditebang, udara menjadi sesak. Ketika sungai tercemar, kehidupan berhenti. Dan ketika manusia hanya menjadikan alam sebagai latar selfie, mungkin saat itu manusia telah kehilangan jati dirinya.
MAPALA — yang dulu dikenal sederhana, keras, tapi penuh makna — kini dihadapkan pada pilihan: menjadi simbol tren, atau tetap menjadi penjaga bumi.
Di tengah dunia yang semakin bising, mungkin sudah waktunya kita semua kembali mendengar suara alam yang dulu begitu akrab.
Karena seperti pesan klasik para pendiri MAPALA:
“Cinta alam bukan diucapkan, tapi dilakukan.”
Dan di balik semua perubahan zaman, pesan itu masih relevan mungkin lebih dari sebelumnya. (Sh)
