Lewat Seminar Arca, Museum Mpu Purwa Perkuat Peran Guru dalam Edukasi Sejarah Kota Malang

CITILIVE — Seminar Arca Museum Mpu Purwa Kota Malang terus memperkuat fungsinya sebagai pusat edukasi sejarah dan budaya lokal. Melalui Seminar Koleksi Museum Mpu Purwa 2025, museum ini membuka kembali pemahaman terhadap nilai-nilai budaya masa lalu lewat koleksi arca-arca kuno yang selama ini jarang diketahui publik. Kegiatan ini diikuti oleh sekitar 100 guru dari berbagai jenjang pendidikan di Kota Malang, baik negeri maupun swasta, dan berlangsung selama dua hari.Seminar ini merupakan bagian dari program tahunan yang didanai oleh Dana Alokasi Khusus (DAK) non-fisik bidang kebudayaan. Fokus utama seminar adalah memperkenalkan secara lebih mendalam koleksi artefak bersejarah, khususnya arca Ganesha dan Dewi Durga, sebagai upaya untuk mendorong pemanfaatan museum sebagai sarana edukasi yang kontekstual di lingkungan sekolah.
“Selama ini, sebagian besar koleksi arca kami belum pernah dipublikasikan secara luas. Dalam seminar ini, kami ingin memperlihatkan secara langsung kepada para guru agar mereka dapat memahami nilai sejarah dan makna filosofis yang terkandung di dalamnya,” ujar Juli Handayani, S.E., M.M., Kepala Bidang Kebudayaan Disdikbud Kota Malang.
Dalam sesi materi utama, peserta diajak mengenal lebih dekat dua ikon penting dalam koleksi museum, yaitu Arca Ganesha dan Dewi Durga. Menurut Nona Nur Medina, S.M., M.SM., narasumber yang juga merupakan praktisi dan peneliti sejarah budaya, Ganesha adalah simbol kebijaksanaan dan pelindung dari rintangan, sebagaimana diajarkan dalam ajaran Hindu. “Nama Ganesha berasal dari dua kata: Gana berarti kelompok atau pasukan, dan Isya berarti penguasa. Ia adalah pemimpin pasukan Dewa Siwa. Arca ini bukan sekadar batu, tapi representasi spiritual yang kaya makna,” ungkap Nur Medina dalam paparannya.

Sementara itu, pemahaman yang keliru tentang Dewi Durga sebagai sosok jahat, juga diklarifikasi secara mendalam. Nur Medina menegaskan bahwa dalam mitologi Hindu, Dewi Durga adalah simbol kekuatan ilahi yang tak tertandingi, pelindung dari kejahatan, dan penjaga keseimbangan kosmik. “Kita sering mendengar bahwa Dewi Durga adalah sosok menakutkan. Padahal justru sebaliknya, ia hadir untuk melindungi umat dari kegelapan. Inilah yang harus dipahami guru agar dapat disampaikan secara benar kepada siswa,” tambahnya.

Sesi berikutnya disampaikan oleh Rakai Hino Galeswangi, M.Pd., yang dikenal dengan nama Sam Raka. Ia menekankan pentingnya pemahaman sejarah lokal yang akurat, terutama dalam membedakan ajaran agama dengan praktik aliran kepercayaan. Sam Raka mencontohkan situs Yoni yang berada di SDN Dinoyo 1, yang merupakan peninggalan asli dari masa kerajaan Hindu-Buddha. Sayangnya, kata dia, masih ada praktik keliru seperti pembakaran kemenyan dan dupa di situs tersebut oleh pihak-pihak yang tidak memahami konteks sejarahnya.
“Itu bukan bagian dari tradisi Hindu yang sebenarnya. Guru harus bisa menjelaskan dengan benar, mana yang merupakan praktik spiritual yang sesuai dengan ajaran agama, dan mana yang berasal dari aliran kepercayaan,” tegas Sam Raka. Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa Malang di masa lalu telah terbagi menjadi lima wilayah utama, masing-masing memiliki situs budaya yang kaya nilai historis. Sayangnya, tidak semua peninggalan tersebut dimaknai secara utuh oleh masyarakat.

Seminar Koleksi Museum Mpu Purwa 2025 menempatkan museum bukan hanya sebagai ruang pameran, melainkan sebagai kelas terbuka sejarah lokal yang hidup. Para guru yang hadir diharapkan mampu menjadikan pengalaman mereka dalam seminar ini sebagai bekal untuk menghidupkan kembali materi sejarah lokal di ruang kelas, khususnya dalam konteks kurikulum merdeka belajar yang menekankan konteks lokal dan budaya. “Kami berharap para guru dapat mengembangkan kembali wawasan sejarah lokal dalam proses belajar-mengajar di sekolah. Ini adalah salah satu bentuk pelestarian budaya yang paling efektif dan berdampak langsung pada generasi muda,” terang Juli Handayani.
Kegiatan ini menjadi bukti bahwa kolaborasi antara museum dan tenaga pendidik mampu menghasilkan pemahaman budaya yang lebih utuh. Para peserta seminar memberikan respons positif, bahkan menyarankan agar kegiatan serupa bisa digelar secara berkala di berbagai museum atau situs sejarah lainnya di Kota Malang. Dengan semangat edukatif dan partisipatif, Museum Mpu Purwa menunjukkan bahwa pelestarian warisan budaya tidak hanya melalui perlindungan benda, tetapi juga lewat pendidikan yang tepat sasaran.
Berlokasi di Jalan Soekarno-Hatta, Kota Malang, Museum Mpu Purwa menyimpan lebih dari 130 koleksi peninggalan masa Hindu-Buddha, termasuk arca, yoni, prasasti, dan artefak dari era Kerajaan Kanjuruhan hingga Majapahit. Museum ini terbuka untuk umum dan aktif menyelenggarakan program edukasi bagi sekolah dan komunitas budaya. (Adv)