Hari Kedua Masuk Sekolah, Masih Banyak Ayah Antar Anak: Gerakan “Ayah Mengantar” Gaungkan Kedekatan Keluarga

CITILIVE – Meskipun hari pertama masuk sekolah telah berlangsung kemarin, pemandangan ayah mengantar anaknya ke sekolah masih banyak terlihat pada hari kedua, Selasa (15/7). Fenomena ini menjadi bukti bahwa ajakan “Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah” yang digagas BKKBN dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) terus menggema dan menyentuh kesadaran orang tua, khususnya para ayah.
Pantauan di beberapa sekolah dasar dan taman kanak-kanak di wilayah Kota Malang dan sekitarnya, sejumlah ayah tampak mendampingi anak-anak mereka masuk sekolah, membawakan tas, dan menyempatkan waktu untuk memberi semangat sebelum masuk kelas. Gerakan ini sejalan dengan seruan Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo, yang menyebut bahwa peran aktif ayah dalam momen-momen penting anak, seperti hari pertama sekolah, sangat penting untuk membangun kedekatan emosional dan rasa aman bagi anak.

“Partisipasi ayah bisa jadi sederhana seperti mengantar ke sekolah, tapi dampaknya luar biasa bagi tumbuh kembang mental dan semangat anak,” katanya melalui siaran pers resmi. BKKBN mencatat bahwa 20,9 persen anak di Indonesia tumbuh tanpa peran aktif ayah (fatherless). Hal ini dipicu oleh berbagai kondisi seperti perceraian, kematian, hingga pekerjaan ayah yang jauh dari rumah. Stigma peran ayah hanya sebagai pencari nafkah juga memperkuat minimnya keterlibatan dalam pengasuhan anak
.Menurut sejumlah guru dan wali murid, gerakan ini justru menunjukkan dampak jangka panjang. “Hari kedua pun masih ramai ayah yang ikut mengantar. Ini bukan soal seremonial, tapi perubahan cara pandang dalam pengasuhan,” ujar Nurul Khasanah, guru SD di kawasan Sukun Kota Malang. Hal senada disampaikan oleh Soni (35), warga Sukun Pondok Indah, yang mengantar anak pertamanya ke SD. “Saya sengaja ambil cuti dua hari, biar bisa benar-benar dampingi anak dari awal. Anak jadi lebih semangat dan nggak canggung di lingkungan baru,” katanya. BKKBN juga menyoroti budaya patriarki dan stigma lama bahwa tugas ayah sebatas mencari nafkah, sementara pengasuhan diserahkan sepenuhnya kepada ibu. Hal ini membuat banyak ayah merasa tidak perlu atau tidak memiliki ruang untuk terlibat aktif dalam kehidupan anak. “Kita ingin mengubah persepsi itu. Peran ayah sangat penting dalam pengasuhan, tidak bisa hanya bersandar pada ibu,” tegasnya.
Menilai bahwa gerakan ini sangat strategis dalam melawan krisis kelekatan antara anak dan ayah. “Ini bukan soal satu hari, tapi bagaimana kita membangun budaya pengasuhan yang melibatkan ayah. Terutama di era ketika literasi digital dan pendidikan karakter jadi fokus utama pendidikan,” jelasnya.