FIB Universitas Brawijaya Gelar ISCS IV, Angkat Peran Seni dan Budaya untuk Masa Depan Berkelanjutan

CITILIVE, MALANG – Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya (UB) terus memperkuat kiprah global melalui penyelenggaraan International Seminar on Cultural Sciences (ISCS) IV yang digelar pada Senin-Selasa (22–23/9/2025). Forum akademik ini mengusung tema besar “Art, Culture and Sustainability: Envisioning Inclusive Futures Through Creative Innovation” dan menjadi ruang refleksi atas relasi seni, budaya, serta keberlanjutan.
Pembukaan ISCS IV berlangsung di Aula FIB B UB dan dibuka resmi oleh Wakil Dekan Bidang Akademik, Dr. Yusri Fajar, S.S., M.A. Dalam sambutannya, Yusri menekankan bahwa budaya bukan sekadar ornamen, melainkan instrumen penting dalam menjawab disrupsi teknologi, ketimpangan sosial, hingga krisis iklim.

“Kebudayaan dan seni adalah instrumen penting dalam membayangkan dunia yang lebih manusiawi dan berkelanjutan,” tegas Yusri.
Forum Internasional Lintas Disiplin

ISCS IV terselenggara atas kerja sama antara UB dan Universiti Malaysia Sarawak (UNIMAS), serta melibatkan mitra dari Jerman, Taiwan, dan negara-negara Asia lainnya. Seminar ini menggunakan format hybrid sehingga membuka partisipasi lebih luas, baik secara daring maupun luring.
Empat pembicara utama hadir memperluas perspektif para peserta. Di antaranya:
• Prof. Ching-Ping Tang, Ph.D. (National Chengchi University, Taiwan) membahas politik lingkungan dan tata kelola budaya di Asia.
• Dr. Louis Ringah Kanyan (UNIMAS, Malaysia) menekankan pengetahuan adat dan warisan budaya untuk pembangunan berkelanjutan.
• Prof. Dr. Sony Sukmawan, M.Pd. (UB) mengangkat isu sastra, kritik budaya, dan pendidikan.
• Franziska Fennert, M.A. (Jerman), seniman interdisipliner, mengajak peserta bereksperimen dengan seni lintas batas.
Enam Panel Diskusi Tematik
Selain ceramah utama, ISCS IV juga menghadirkan enam panel diskusi tematik yang menyoroti isu-isu mutakhir: Art and Digital Innovation, Cultural Identity and Tradition, Cultural Industry and Creative Economy, Art, Activism, and Human Rights, Cultural Expression and Performance, serta Cultural Heritage and Sustainability.
Tema yang dibahas mencakup ekokritik visual, digitalisasi kamus warisan bahasa, pemajuan budaya lokal, hingga penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam praktik seni. Forum ini mempertemukan lebih dari 40 pemakalah lintas disiplin dari berbagai negara, memperkaya khazanah keilmuan dan praktik kebudayaan.
Ruang Inklusif dan Kolaboratif
Salah satu aspek menonjol dari ISCS IV adalah semangat lintas batas yang diusung. Forum ini menegaskan bahwa kebudayaan tidak lagi bersifat lokal atau tertutup, melainkan kolaboratif dan terbuka terhadap inovasi global.
Dalam sesi pemutaran film dokumenter Indonesia dan diskusi komunitas akar rumput, peserta diajak menelusuri narasi alternatif yang kerap terpinggirkan dari wacana dominan. Hal ini menjadi contoh nyata bagaimana inklusivitas diwujudkan dalam praktik kebudayaan.
Komitmen UB di Ranah Global
Melalui ISCS IV, FIB UB menegaskan komitmennya untuk menghubungkan ilmu dengan praktik, riset dengan masyarakat, serta pendidikan dengan kreativitas. Seminar ini tidak hanya menjadi ruang pertukaran gagasan, tetapi juga katalis lahirnya kerja sama riset, pengajaran, dan produksi pengetahuan lintas batas.
“Forum ini adalah jembatan untuk menciptakan masa depan inklusif melalui inovasi kreatif, di mana seni dan budaya tidak hanya dilestarikan, tetapi juga ditransformasikan menjawab tantangan zaman,” pungkas Yusri.
Dengan capaian ini, ISCS IV membuktikan bahwa UB bukan menara gading, melainkan simpul penting dalam jejaring budaya global yang berpihak pada inklusivitas, keberlanjutan, dan inovasi. (Ab)