Pernah Bubarkan Depsos, Ini Sosok KH Abdurrahman Wahid dan Kiprahnya Dalam Dunia Politik
SOSOK, malangpost.id – Penggemar KH Abdurrahman Wahid, atau dikenal dengan Gus Dur, menyebut Desember sebagai bulan Gus Dur.
Hampir sembilan tahun Gus Dur wafat pada 30 Desember 2009 silam, namun Gus Dur masih sering disebut-sebut dalam berbagai forum, baik oleh pakar, peneliti, maupun mahasiswa. Bahkan, Gus Dur juga disebut-sebut di warung kopi dan kafe.
Tepat memasuki bulan Desember, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan berita penangkapan Menteri Sosial, Juliari Batubara. Menteri Sosial ditangkap terkait dengan kasus dugaan suap bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19.
Hal ini memunculkan kembali ingatan publik tentang cerita Gus Dur yang membubarkan Departemen Sosial (saat ini bernama Kementerian Sosial) pada November 1999.
Saat itu, Gus Dur masih menjabat sebagai Presiden RI ke-4 menggantikan BJ Habibie. Cuplikan video Gus Dur dalam acara talk show Kick Andy menjadi perbincangan hangat warganet. Dalam acara tersebut, Gus Dur menyebutkan alasan mengapa ia membubarkan Departemen Sosial.
Gus Dur memang dikenal dengan pernyataan-pernyataannya yang lugas dan nyeleneh, bahkan dianggap kontroversial. Namun, dibalik semua pernyataan dan ungkapan yang dianggap kontroversial pada masanya, tidak sedikit dari pernyataan-pernyataan tersebut sekarang ini menemukan pembenarannya satu persatu.
Gus Dur juga merupakan sosok yang dikenal akan aksi kemanusiaan dan berjuang keras melawan intoleransi di Indonesia.
Seperti apa sosok Gus Dur yang kerap melontarkan kata-kata kontroversial dan lucu, yang justru menjadi quote hingga kini? Simak ulasan singkat sosok KH Abdurrahman Wahid berikut, yuk!
Biografi singkat KH Abdurrahman Wahid
Lahir di Jombang, Jawa Timur pada 4 Agustus 1940, Gus Dur merupakan anak pertama dari enam bersaudara dari pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Wahid Hasyim dan Hj. Sholehah. Sejak masa kanak-kanak, Gus Dur tinggal di Jakarta. Kemudian masa remajanya dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Gus Dur menempuh pendidikan sekolah menengah di Yogyakarta, dilengkapi dengan pendidikan di pondok pesantren Al Munawwir di Krapyak.
Setelah menamatkan pendidikan di Sekolah Menegah Ekonomi, Gus Dur belajar secara penuh di pesantren di Tegalrejo hingga pertengahan 1959. Kemudian Gus Dur pindah ke Jombang untuk belajar di bawah bimbingan Kiai Wahab Chasbullah di pesantren Tambakberas.
Tahun 1963, Gus Dur melanjutkan pendidikan ke Kairo, Mesir. Setelah menyelesaikan studi, Gus Dur kembali pulang ke Jombang dan menjadi guru. Di tahun 1971, beliau menjadi pengajar di di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang.
Pada tahun 1974, Gus Dur menjadi sekretaris di Pesantren Tebu Ireng Jombang. Gus Dur lalu pindah ke Jakarta pada 1979 dan merintis Pesantren Ciganjur. Awal tahun 1980, Gus Dur dipercaya sebagai sebagai wakil katib syuriah PBNU.
Sempat menuai cibiran karena dianggap ‘menyimpang’ dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU, Gus Dur menjabat Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DJK) dari tahun 1982-1985 dan menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.
Hingga pada tahun 1984 pada muktamar NU ke-27 di Situbondo, Gus Dur dipilih secara aklamasi untuk menjabat ketua umum PBNU. Jabatan ketua umum dilepas ketika Gus Dur menjabat sebagai presiden RI ke-4.
Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah dan keduanya dikarunia empat orang anak. Yang pertama, Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh (dikenal dengan Yenni Wahid), Annita Hayatunnufus, dan bungsu Inayah Wulandari.
Sosok Gus Dur: pelahap bacaan dan penulis
Sejak kecil, Gus Dur sangat gemar membaca. Beliau rajin membaca buku-buku di perpustakaan pribadi ayahnya serta berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta. Gus Dur juga memiliki hobi bermain bola, musik, dan catur. Saat remaja, Gus Dur sudah menguasai bahasa Inggris dengan baik dan bisa membaca tulisan dalam bahasa Belanda dan Perancis.
Minatnya terhadap bacaan semakin meningkat saat bersekolah di Yogyakarta. Bahkan sejak remaja Gus Dur mulai membaca karya sastra klasik, pemikir Eropa, dan intelektual muslim. Saat di Jombang inilah, Gus Dur mulai menulis.
Sejak pertengahan 1970an, banyak tulisan Gus Dur diterbitkan di majalah Tempo secara teratur. Terhitung, lebih dari 100 naskah yang telah ditulis hingga menjadi presiden. Tulisan-tulisan Gus Dur memiliki tema luas, mulai dari politik, keagamaan, profil para kiai dan pesantren, sosial ekonomi, hingga olah raga.
Kiprah politik KH Abdurrahman Wahid
Gus Dur pindah ke Jakarta tahun 1978 dan memulai kiprah politiknya di tahun 1980an. Publik mulai mengenal Gus Dur sebagai tokoh muda penganjur pembaruan pemikiran Islam bersama-sama dengan Nurcholis Madjid dan Djohan Effendi.
Saat menjabat ketua umum PBNU, Gus Dur sering melontarkan kritik terbuka terhadap rezim yang berkuasa.
Kiprah politik Gus Dur semakin dikenal saat terjun ke politik praktis dengan mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 23 Juli 1998. Puncaknya, pada 20 Oktober 1999, Gus Dur dilantik menjadi Presiden RI ke-4. Saat itu, Indonesia sedang menghadapi krisis ekonomi akibat reformasi menggulingkan Presiden Soeharto.
Tak Hanya Itu
Belum lagi masalah-masalah lainnya, seperti kerusuhan Ambon dan Poso, pemberontakan di Aceh dan Papua, serta reformasi birokrasi. Untuk melobi dan meyakinkan negara-negara lain tentang kondisi Indonesia, Gus Dur melakukan kunjungan ke lima benua. Sempat menuai kritik karena dianggap pemborosan anggaran, Gus Dur hanya menjawab “Tapi eksistensi Indonesia di mata dunia harganya lebih mahal dari itu”.
Gus Dur juga yang menggagas untuk mengadili Soeharto, menyita hartanya, dan memaafkan Soeharto. Dan pada 30 Agustus 2000, dilaksanakan pengadilan terhadap Soeharto untuk pertama kalinya. Gus Dur juga membubarkan Kementerian Sosial yang dianggap sebagai sarang koruptor dan membubarkan Kementerian Penerangan.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, Gus Dur juga mengalami kesulitan. Selama menjabat sebagai presiden selama kurang lebih 21 bulan, beliau berulang kali merombak kabinet dan memecat menteri. Ditambah lagi, Gus Dur juga terlibat perseteruan dengan DPR, yang mencapai puncaknya saat Gus Dur mengeluarkan dekrit pembubaran DPR.
Sejumlah kebijakan lainnya termasuk pemisahan TNI dengan Polri, mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua, menerapkan otonomi daerah, mengakui agama Kong Hu Cu dan menjadikan Imlek hari Nasional, serta mencabut larangan terhadap PKI dan penyebaran Marxisme dan Leninisme.
Sebagai presiden, kebijakan dan arah pikiran Gus Dur memang sulit ditebak. Bahkan, hubungan antara Gus Dur dengan banyak pihak, seperti DPR, TNI, dan media menjadi tidak baik. Hingga akhirnya, terjadi pemakzulan terhadap Gus Dur pada 23 Juli 2001 dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri menggantikan Gus Dur.
Sosok Gus Dur: Pembela Kemanusiaan
Walaupun telah tiada, namun kebesaran Gus Dur masih ada hingga kini, melintasi zaman dan generasi. Kita juga mengenal kisah, kiprah, kontribusi, serta pengabdian Gus Dur dari berbagai kisah tentang kemanusiaan. Banyak masyarakat mulai dari petani, pelayan, hingga tukang becak kehilangan Gus Dur, sosok yang bisa akrab dengan semua orang.
Dan sosok yang tidak pernah berhenti berkiprah untuk kemanusiaan, pembela minoritas, dan aktivis demokrasi. Dalam pemerintahannya yang sebentar, sejumlah konflik sosial berhasil diredam dengan pendekatan kemanusiaan ala Gus Dur. Sepatutnya, kita belajar sekaligus meneruskan gagasan-gagasan Gus Dur yang belum selesai. Sikap, gagasan, pemikiran, dan kontribusi yang semuanya berlandaskan kemanusiaan dan cinta. (ds3)