Netwriter can get reward Join NowDaftar / Login Netwriter
03/10/2025
NEWSLIVE

Kronologi Runtuhnya Gedung Ponpes Al Khoziny di Sidoarjo

rifamahmudah
  • Oktober 1, 2025
  • 4 min read
Kronologi Runtuhnya Gedung Ponpes Al Khoziny di Sidoarjo

NEWSLIVE – Peristiwa runtuhnya bangunan tiga lantai Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo, pada Senin (29/9), menyisakan luka mendalam bagi keluarga korban serta menimbulkan perhatian luas dari publik. Tragedi tersebut terjadi ketika sekitar 140 santri tengah melaksanakan salat Asar berjamaah di dalam bangunan yang masih dalam tahap pengecoran. Dalam insiden tersebut, sebanyak 102 orang santri berhasil dievakuasi dengan selamat, meskipun tiga di antaranya meninggal dunia. Sementara itu, 38 santri lainnya sempat terjebak di bawah reruntuhan, membuat proses evakuasi berlangsung dramatis dan penuh tantangan.

Selain fokus pada penyelamatan korban, tragedi ini segera memunculkan sederet sorotan kritis terkait kelalaian dalam pembangunan gedung. Mulai dari dugaan tidak adanya izin mendirikan bangunan (IMB), lemahnya perencanaan teknis, hingga kemungkinan kelalaian kontraktor maupun pihak pesantren dalam memastikan standar keselamatan konstruksi.

Bangunan Diduga Tak Memiliki IMB

Bupati Sidoarjo, Subandi, secara tegas mengungkapkan keprihatinannya saat meninjau langsung lokasi kejadian. Ia menyoroti bahwa bangunan Ponpes Al Khoziny ternyata tidak mengantongi IMB. Ketika dirinya menanyakan dokumen resmi pembangunan, pihak terkait tidak mampu menunjukkannya. Fakta ini menjadi bukti kuat bahwa pembangunan tiga lantai tersebut dilakukan tanpa landasan perizinan yang sah.

Menurut Subandi, kelalaian fatal ini memperlihatkan betapa longgarnya pengawasan pembangunan. “Saya tanyakan izinnya mana, ternyata tidak ada. Pembangunan sudah sampai lantai tiga, padahal konstruksinya jelas tidak sesuai standar, sehingga akhirnya roboh,” ungkapnya, Selasa (30/9/2025). Pernyataan tersebut mempertegas bahwa robohnya gedung bukan semata kecelakaan, melainkan akibat dari lemahnya kepatuhan terhadap aturan.

Awalnya Hanya Direncanakan Satu Lantai

Fakta lain yang terungkap datang dari analisis pakar teknik sipil struktur Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Mudji Irmawan. Ia menjelaskan bahwa rancangan awal bangunan ponpes sejatinya hanya untuk satu lantai. Namun, karena adanya kebutuhan menampung santri yang semakin bertambah, pihak pesantren kemudian memaksakan pembangunan hingga tiga lantai tanpa perencanaan teknis yang matang.

Baca Juga:  Facebook Group Dedicated To Oddly Specific Playlists

“Kalau kita lihat sejarah pembangunannya, sebenarnya gedung kelas pondok ini hanya dirancang untuk satu lantai. Namun karena jumlah santri terus meningkat, akhirnya dipaksa menjadi tiga lantai tanpa desain struktur yang memadai,” terang Mudji. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan besar antara kebutuhan ruang dengan kemampuan teknis bangunan yang tersedia.

Beban Bangunan yang Berlipat Ganda

Masalah krusial lain yang dijelaskan Mudji adalah soal beban bangunan. Dengan adanya tambahan lantai tanpa perhitungan yang benar, beban struktur meningkat tajam dari kapasitas awalnya. Ia menegaskan, beban yang seharusnya hanya 100% justru naik menjadi 200% hingga 300%. Kondisi tersebut membuat struktur lantai satu dan dua tidak lagi mampu menahan tekanan berat yang datang dari atas.

“Inilah salah satu faktor utama penyebab bangunan ambruk. Beban kerja struktur menjadi berlipat ganda dan tidak sesuai dengan daya dukung yang tersedia,” jelasnya. Menurut Mudji, kelalaian kontraktor juga sangat berperan di balik tragedi ini. Berdasarkan Undang-Undang Jasa Konstruksi, kontraktor seharusnya memiliki pengalaman, tenaga ahli, serta peralatan memadai agar dapat menilai apakah sebuah konstruksi mampu menahan beban tambahan atau tidak. Sayangnya, hal tersebut tampaknya diabaikan.

Kelalaian Teknis dan Tanggung Jawab Kontraktor

Dalam dunia konstruksi, perencanaan dan pengawasan teknis adalah aspek vital untuk menjamin keselamatan. Namun, dalam kasus Ponpes Al Khoziny, indikasi kuat menunjukkan bahwa standar tersebut tidak terpenuhi. Kontraktor yang menangani proyek ini diduga tidak melakukan analisis struktur secara menyeluruh. Akibatnya, bangunan yang dipaksa berdiri tiga lantai tanpa fondasi memadai akhirnya runtuh saat proses pengecoran berlangsung.

Pakar menegaskan bahwa peristiwa seperti ini seharusnya dapat dicegah bila seluruh pihak menjalankan tugasnya sesuai prosedur. Kontraktor tidak hanya dituntut menyelesaikan bangunan, tetapi juga berkewajiban memastikan kekuatan konstruksi agar tidak membahayakan jiwa. Kelalaian dalam menghitung daya dukung pondasi dan menambahkan lantai tanpa evaluasi teknis menjadi faktor fatal penyebab musibah.

Baca Juga:  Muncul Varian Baru, WHO Mulai Selidiki Asal Usul Corona di Wuhan

Menteri Agama: Harus Jadi Tragedi Terakhir

Peristiwa ini juga mendapatkan perhatian serius dari Menteri Agama, Nasaruddin Umar. Ia menyampaikan rasa belasungkawa yang mendalam kepada para korban dan keluarga. Namun lebih dari itu, ia menegaskan bahwa insiden seperti ini tidak boleh lagi terulang. Pondok pesantren yang seharusnya menjadi tempat aman untuk menimba ilmu, justru menjadi lokasi bencana karena kelalaian teknis.

“Mudah-mudahan ini yang terakhir. Tidak boleh ada lagi pondok pesantren roboh akibat kelalaian atau ketidaksesuaian teknis. Kami di Kementerian Agama akan memperkuat pengawasan ke depan,” ujarnya. Komitmen ini menegaskan bahwa pemerintah siap mengambil langkah untuk memperketat regulasi sekaligus pengawasan pembangunan lembaga pendidikan berbasis pesantren agar lebih aman dan layak huni.

Runtuhnya bangunan tiga lantai Ponpes Al Khoziny bukan sekadar peristiwa tragis, melainkan tamparan keras bagi semua pihak terkait. Dari sisi teknis, jelas terlihat adanya pelanggaran serius mulai dari tidak adanya IMB, pemaksaan penambahan lantai tanpa perhitungan struktur, hingga kelalaian kontraktor dalam menjalankan tugas profesionalnya. Dari sisi sosial, musibah ini telah merenggut nyawa santri yang seharusnya sedang berada di ruang aman untuk beribadah dan belajar.

Kejadian ini seharusnya menjadi pelajaran penting agar pembangunan fasilitas pendidikan, khususnya pondok pesantren, benar-benar memperhatikan standar teknis serta aspek keselamatan. Pihak pesantren, kontraktor, maupun pemerintah daerah dituntut untuk lebih disiplin dalam menjalankan aturan, agar tragedi serupa tidak kembali menghantui dunia pendidikan di Indonesia. (Ab)


2 Comments

  • This is one of the best articles on the topic I’ve seen recently.

  • Thanks for the detailed breakdown — it saved me a lot of time.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *