Keruntuhan Komunisme di Blok Soviet (1991)
DUNIA, Malangpost.id – Pada tahun 1848, Karl Marx meramalkan sebuah revolusi. Revolusi ini akan berlangsung di seluruh dunia dan diprakarsai oleh kaum buruh melawan semua penguasa, baik kapitalis maupun feodal.
Seratus tahun kemudian, ramalan ini mendekati kenyataan. Uni Soviet dan Tiongkok menjadi negara komunis terbesar di Eropa dan Asia. Organisasi yang berhaluan komunis mulai bermunculan di berbagai belahan dunia dengan keinginan untuk melakukan revolusi.
Dilansir dari The Making of a Cold War Turning Point: The Sino-Soviet Split and the Prelude to Detente with the United States (1965-1968), Uni Soviet dan Tiongkok menandatangani Traktat Persahabatan dan Aliansi yang menyatukan kedua negara dalam persaudaraan ideologis, ekonomi dan militer.
Ini mengkhawatirkan Amerika Serikat. Dengan anggaran militer yang terbatas dan kepentingan ekonomi nasional lainnya, Dwight D. Eisenhower dan John Foster Dulles menyusun strategi untuk menghadapi kekuatan komunisme.
Pertama, Dwight D. Eisenhower akan mengurangi anggaran militer di Angkatan Darat dan Angkatan Laut tetapi meningkatkannya di Angkatan Udara dan senjata nuklir. Kemudian, Dulles akan menggunakan Angkatan Udara dan senjata nuklir ini sebagai alat diplomatik untuk menekan Uni Soviet dan Tiongkok agar terpecah.
Joseph Stalin Meninggal dan Digantikan Georgy Malenkov
Sebuah kesempatan datang, Joseph Stalin meninggal dan digantikan oleh Georgy Malenkov. Saat itu, senjata nuklir Amerika Serikat sudah jauh melampaui Uni Soviet sehingga ancaman serangan nuklir menjadi semakin kritis. Hal ini memaksa Malenkov untuk mengesampingkan ideologi revolusionernya dan menawarkan hubungan damai dengan Amerika Serikat untuk mencegah serangan nuklir.
Strategi Amerika Serikat mulai membuahkan hasil, Malenkov tidak bertahan lama dan digantikan oleh Nikita Khrushchev. Namun, Nikita tetap menjalankan kebijakan Malenkov yang berusaha menjaga perdamaian dengan Amerika Serikat. Inilah yang mulai menimbulkan gesekan antara Uni Soviet dan sekutunya.
Sementara Uni Soviet memprioritaskan keamanan nasional dengan mencegah agresi Amerika Serikat, Tiongkok masih bersemangat untuk melawan kapitalisme dan imperialisme. Bagi Tiongkok, berdamai dengan Barat bukan hanya penghinaan terhadap ideologi Marxisme tetapi sangat berbahaya bagi perjuangan anti-kolonial di Asia dan Afrika.
Pasalnya, Uni Soviet bisa saja mengabaikan dan bahkan bekerja sama dengan negara-negara barat yang ingin merebut kembali wilayah jajahannya. Ketakutan ini meningkat pada Kongres ke-20 Partai Komunis Uni Soviet.
Pada saat itu, Khrushchev melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh siapa pun di Uni Soviet. Dalam pidato yang dilakukan dalam sesi tertutup, Khrushchev mengkritik Joseph Stalin sebagai diktator dan bukan pemimpin yang baik bahkan menuduh Stalin berbeda dari Lenin.
Ketika Khrushchev menghina Stalin, Mao menganggap Khrushchev telah menghinanya secara tidak langsung. Ini dapat mengancam legitimasi Mao, karena berpotensi menginspirasi bawahannya untuk melakukan hal yang sama.
Dulles Terus Menekan Kedua Negara dengan Membentuk Aliansi Non-Komunis
Amerika Serikat tidak tinggal diam, Dulles terus menekan kedua negara dengan membentuk aliansi non-komunis di Eropa dan Asia. Dibentuklah SEATO dan CENTO untuk menyulut paranoia Tiongkok yang kemudian akan meminta lebih banyak bantuan dari Uni Soviet, terutama senjata nuklir.
Dengan ini, Dulles menjebak Uni Soviet dalam dilema. Haruskah Uni Soviet membantu sekutu terbesar mereka namun memprovokasi Amerika Serikat atau mempertahankan hubungan dengan Amerika Serikat namun harus meninggalkan sekutu mereka di Asia.
Pada tahun 1959, Tiongkok mengalami masalah di Tibet. Dalai Lama memberontak dan melarikan diri ke India, negara yang juga memiliki sengketa perbatasan dengan Tiongkok. Tanpa diduga, Uni Soviet justru mengambil posisi netral.
Namun, pada saat yang sama memberikan bantuan militer kepada India untuk bersaing dengan Pakistan yang merupakan sekutu Amerika Serikat dan anggota CENTO. Karena itu, Tiongkok tidak lagi melihat Uni Soviet sebagai sekutu setia.
Pada tahun 1960, Uni Soviet menarik semua ahli yang ditugaskan untuk membangun Tiongkok. Perdagangan mulai menurun dan hubungan antara keduanya semakin buruk. Dampak konflik antara Uni Soviet dan Tiongkok juga memecah belah gerakan komunis, ada kubu Pro-Tiongkok dan Pro-Soviet.
Setelah banyak krisis dan gesekan, Tiongkok mengambil langkah drastis pada 1970-an dengan berpihak pada musuh bebuyutannya, Amerika Serikat. Kolaborasi ini diresmikan pada Komunike Shanghai antara Mao Zedong dan Richard Nixon.
Pada akhirnya, strategi Amerika Serikat berhasil. Uni Soviet dan Tiongkok menjadi musuh bebuyutan dan satu per satu gerakan komunis dunia digulingkan dengan atau tanpa bantuan Amerika Serikat. Perlahan-lahan, Tiongkok memodifikasi ideologinya untuk mendekati dunia barat dan tidak melakukan kebijakan kontroversial untuk sementara waktu.
Penulis: Maharani Safitri